Hikmah Diakhirkannya Ali Sebagai Khalifah
HIKMAH DIAKHIRKANNYA ALI SEBAGAI KHALIFAH
Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
وَعَظَنَارسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةًبَلِيغَةًذَرَفَتْ مِنْهَاالْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَاالْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُمُوَدِّعٍ فَمَاذَاتَعْهَدُإِلَيْنَافَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًاحَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًاكَثِيرًافَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِالْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِين تَمَسَّكُوابِهَاوَعَضُّواعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ…
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteskan air mata dan membuat hati bergetar. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan taati (pimpinan), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâur Râsyidîn Mahdiyyîn (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian… “[1]
Para Khulafâur Râsyidîn adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khathab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum.
Ada sebagian kelompok yang menuduh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu dan Khalifah Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu telah merampok/merampas kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Mereka mengatakan kekhalifahan sebelum Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah secara de facto saja, bukan de jure. Ini merupakan kesesatan, kelompok seperti ini jelas tidak mengikuti jalan para SahabatRadhiyallahu anhum, mereka juga tidak mengikuti jejak Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu yang tunduk dan patuh pada khalifah sebelumnya.
Dalam bab terakhir ini penulis akan menyampaikan tentang hikmah diakhirkannya Ali sebagai khalifah.
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, usia Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu adalah 33 tahun, usia yang masih sangat muda untuk memimpin kaum muslimin secara keseluruhan dengan segala problematikanya. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa usia matang seorang manusia adalah ketika telah mencapai usia 40 tahun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa (matang) dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku temasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Al-Ahqâf: 15)
Alhamdulillah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menerima amanat sebagai khalifah ketika usia beliau mencapai 58 tahun, usia yang matang.
#####
Diantara hikmah lainnya adalah sebagaimana disebutkan oleh Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi rahimahullah, “Para pengamat melihat sejarah pergerakan revolusioner dan seruan perbaikan seringkali kecewa saat endingnya. Di awal mula pergerakan, mereka mengadakan perbaikan dan membasmi kerusakan dan penyimpangan. Di akhir revolusi atau kudeta berdirilah suatu pemerintahan atau kekuatan politik dan militer untuk kepentingan keluarga dari pemimpin pergerakan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan orang-orang pandai yang selalu berpikir jauh kedepan tidak simpati dan pesimis dengan setiap pergerakan keagamaan.
Nampak jelas dari percakapan Kaisar Romawi Heraklius dengan Abu Sufyan. Heraklius saat itu telah menerima surat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajaknya untuk masuk Islam. Heraklius seorang yang cerdas dan penuh pengalaman bertanya kepada Abu Sufyaan beberapa pertanyaan untuk kemudian menyimpulkan tentang dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaannya kepada Abu Sufyan, “Apakah dia keturunan raja?” Ketika Abu Sufyan menjawab, “Tidak”, maka Heraklius menyimpulkan, “Apabila dia keturunan raja, aku akan menyimpulkan bahwa dia hanya ingin merebut kembali kekuasaan milik leluhurnya.”
Maka bagaimana jadinya jika dakwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasilkan penguasa sepeninggal beliau dari kalangan keluarga, maka manusia akan menyimpulkan bahwa dakwah tersebut untuk kepentingan dan kemakmuran keluarga beliau, wal iyadzu billah.
Dengan takdir Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka yang menjadi khalifah sesudah beliau bukanlah dari keluarganya dan juga bukan dari Bani Hasyim. Khalifah pertama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu dari Bani Taim, lalu Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu dari Bani Ady, setelah itu Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu dari Bani Umayyah. Baru setelah itu kekuasaan beralih kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ketika tidak ada lagi orang yang lebih utama di antara kaum muslimin dan di antara para SahabatRadhiyallahu anhum. Ali tampil menjadi khalifah ketika tidak ada yang mampu mengemban amanat kekhalifahan kecuali beliau. Dari sini tidak ada celah untuk menggembosi dan mencela suksesi (pergantian) kepemimpinan pasca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebagai kepentingan keluarga dan ashabiyah (fanatik) golongan. Orang yang berhak menjadi pemimpin kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah siapa di antara mereka yang paling cakap dan paling mumpuni. Benar-benar kehendak Allah yang telah menakdirkan dengan sebaik-baik takdir.”[2]
[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz]
______
Footnote
[1] HR. Abu Daud No. 4607, At-Tirmidzi No. 2676, Ibnu Majah No. 42. Lihat Shahîh At- Targhîb wa At Tarhîb No. 37.
[2] Al-Murtadha, halaman 85-87
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/20104-hikmah-diakhirkannya-ali-sebagai-khalifah.html